Selasa, 26 April 2011

DPR dan Pendidikan Politik

Kritik yang sedang hangat sering dilontarkan masyarakat kepada para elit Negara yang notabene ‘”wakil rakyat” adalah rencana pembangunan gedung baru. Tentu berbagai kalangan bisa menilai terkait rencana pembangunan itu apakah dengan gedung baru sebagai fasilitas baru mampu meningkatkan kapasitas serta kualitas kinerja elit DPR menjadi lebih optimal. Sementara dengan fasilitas yang ada sekarang DPR tidak mampu menunjukan komitmen dan kinerjanya sebagai wakil rakyat. Contoh kecil ketika rapat- rapat yang digelar di DPR, hamper tidak sampai 50 persen dari jumlah dewan yang ada. Makan tidak mengherankan jika aksi penolakan mencuat dari beberapa elemen masyarakat. Karena dianggap telah mencidrai dan melukai hati rakyat yang semakin menderita.
Yang lebih naïf lagi adalah  pernyataan Marzuki Alie ketua DPR bahwa "Cuma orang-orang elite yang paham membahas masalah ini. Rakyat biasa tidak bisa ikut," Sangat paradox dengan tugas kedewanan yang seharusnya menjadi aspirasi masyarakat. Bahkan yang lebih naïf ketika ia mengtakan bahwa
"Rakyat biasa dari hari ke hari yang terpenting adalah perut mereka terisi. Yang penting mereka bisa makan, kerja, punya rumah, serta ada pendidikan. Jadi, mereka jangan diajak mengurus masalah ini. Urusan seperti ini sebaiknya mengajak orang-orang pintar saja. “masyarakat bodoh” (Media Indonesia com,1/4).
Yang menakjubkan rencana anggaran pembangunan diperkirakan menelan biaya senilai Rp 1,138 triliun. Sungguh angka fantastis yang sulit diterima oleh akal sehat. Padahal gedung lama yang saat ini digunakan masih layak sebagai tempat menampung aspirasi masyarakat. Pantas jika rakyat mempertanyakan komitmen mereka yang telah keluar dari prinsip demokrasi.
Hal lain yang dapat kita simak dari elit DPR adalah komitmen dalam menegakkan demokrasi dan supremasi hukum. Sampai saat ini ekspresi politik yang mereka tawarkan kepada masyarakat berada dalam ruang politik yang sempit. Belum menyentuh transformasi wilayah publik yang manfaatnya dapat dirasakan orang banyak. Bahkan tidak jarang jika kecerdasan politik mereka terjebak dalam relasi politik yang defensif dan apologetik.
Lebih dari itu, masyarakat yang hingga saat ini belum tersentuh oleh institusi DPR juga masih banyak,khususnya dalam persoalan mekanisme pendidikan politik. Dan karena itu belum terbuka terhadap segala keluhan dan kesulitan yang dialami masyarakat melalui media aspirasi. Maka implikasinya relatif kurang mendapat perhatian dalam merespon hak-hak dasar yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Tindakan Berjarak
Sekalipun rencana pembangunan gedung baru sebagai bentuk perhatian elit DPR terhadap simbol demokrasi. Hal itu dipercaya ada beberapa manfaatnya dalam rangka menghormati gedung aspirasi masyarakat yang sudah lama berdiri. Walaupun secara tidak langsung mereka mewakili masyarakat. Padahal sampai saat ini para elit telah meyatimkan masyarakat tanpa memberikan pendidikan politik yang berarti.
Pada mulanya keberadaan gedung DPR merupakan media yang memungkinkan anggota DPR melakukan komunikasi dengan masyarakat dengan cara yang efektif. Dalam kenyataannya ketika menerima aspirasi rakyat, para anggota dewan merubah bentuk komunikasi melalui interaksi politik dengan perwakilan antar partai politik. Sehungga pada akhirnya ketika memberikan respon semuanya bersifat politis.
Gedung DPR telah membatasi aspirasi melalui ruang dan waktu. Tidak pernah sama sekali melakukan pertemuan fisik bagaimana mencari solusi yang sehat untuk mengatasi problema yang terjadi di masyarakat. Meminjam teori komunikasi massa tentang tindakan berjarak dalam kebanyakan kasus para elit tidak menjadi subjek dari ikatan emosional yang sangat kuat, mereka berbicara kepada masyarakat tidak lebih sebagai teman bicara yang tidak hadir (absent).
Dalam kondisi semacam itu sifat komunikasi yang terbentuk tidak menghadirkan pendidikan politik yang penuh interaksi. Tidak ada tindakan merespon aspirasi masyarakat tanpa jarak. Semuanya berjalan tertutup. Hal ini bisa dilihat dari beberapa persoalan yang menyentuh wilayah publik ketika direspon elit DPR berakhir tragis. Cepat menghilang tergantikan dengan isu-isu baru yang beraroma politis. 
Tidak menutup kemungkinan ketika gedung baru itu benar-benar terwujud, mereka akan membentuk kembali batas antara kehidupan publik dan elit yang sangat exlusive. DPR bukanlah kabinet rahasia yang dibentuk oleh lembaga politik. DPR merupakan representasi yang mewakili masyarakat di ruang publik untuk menerima aspirasi yang diputuskan lewat komunikasi politik.
Sejauh ini kita telah memperhatikan penolakan dan keberatan dari beberapa elemen masyarakat tentang rencana pembangunan tersebut. Keberatan itu tidak lain sebagai upaya menciptakan pendidikan politik dengan komunikasi secara aktual. Tujuan argumentatifnya adalah untuk merekonstruksi dan membuat jelas bahwa rencana pembangunan gedung DPR jauh dari silogisme logis.
Sejak awal, inisiatif pembangunan gedung baru ini telah dicurigai sebab tidak didasarkan pada argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan. DPR ditengarai telah berbohong untuk memuluskan rencana tersebut. Kebohongan diduga sebagai bentuk ”legalisasi” rencana pembangunan gedung baru DPR. Menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), upaya pembangunan gedung ini telah menghabiskan anggaran negara hingga Rp 14,7 miliar, yang digunakan pada tahap awal perencanaan. Padahal, tahun 2010 telah dianggarkan Rp 250 miliar. Jika dikalkulasi, pembangunan gedung baru DPR ini tidak hanya berada pada kisaran Rp 1,3 triliun, tetapi akan sampai pada angka Rp 1,4 triliun.

Pendidikan Politik
Pada prinsipnya, penolakan rencana pembangunan gedung DPR mempunyai nilai pedagogis sebagai bagian dari pendidikan politik ke arah demokratisasi. Pendidikan politik tidak cukup melalui pemungutan suara di bilik suara dan teori politik, yang menyangkut makna kehidupan politik, dasar-dasar moral dan tujuan politik, sistem politik, dan sebagainya, yang dapat ditempuh melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah dalam pendidikan kewarganegaraan (civic education). Pendidikan politik juga dapat ditempuh melalui politisasi pembangunan gedung DPR dalam proses atau kehidupan politik secara nyata.
Pada dasarnya pendidikan politik bersifat menanamkan nilai-nilai pedagogis. Namun jelas bahwa titik-berat pendidikan politik yang kita butuhkan sekarang ini bukanlah mengisi dan menanamkan, melainkan melawan kapitalisasi politik yang merusak prinsip-prinsip demokrasi. Sekaligus kita memberi isi pemikiran politik yang kritis. Itulah hakikat pendidikan politik yang mendesak kita perlukan. Kita memerlukan suatu pembebasan dari keterkungkungan mental, spiritual, intelektual, dan kultural. Memang, pada dasarnya manusia harus dikontrol oleh sistem, bukan sebaliknya. Tetapi manusialah yang membentuk sistem itu. Di sini kita memasuki suatu problema atau dilema. Memang sampai taraf tertentu kita menghadapi dilema. Manusia perlu dikontrol oleh sistem, sedang sistem adalah buah karya manusia. Di sinilah perlunya reformasi politik terus-menerus sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan jaman.
Zaedi Basiturrozak

      
    
             

      

   
           

1 komentar: