Senin, 30 Mei 2011

MENGENAL FILSAFAT IBNU SINA

Riwayat Hidupnya
Sejarah pemikiran filsafat telah mencatat Ibnu Sina sebagai seorang filosof muslim yang luar biasa. Tidak hanya mewariskan sistem berpikir, lebih dari itu ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.[1]
Karya-karyanya banyak memengaruhi perkembangan pemikiran Islam di mana ia menunjukkan dasar pijakan berfilsafat dalam tradisi keilmuan Islam dengan metode - metode yang dilengkapi argumen-argumen yang ketat sehingga gagasannya berusaha merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
Ibnu Sina terlahir dengan nama Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Dilahirkan pada tahun 980 M di Afshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman.[2]  Di besarkan di Bukhara dan belajar falsafah kedokteran serta ilmu - ilmu agama Islam. Saat usianya menginjak sepuluh tahun ia banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal al-Qur’an [4]. Ia mempelajari ilmu agama dan metafisika dari Plato dan Aristoteles. Sedangkan ilmu logika didapatnya dari mempelajari buku Isagoge dan Porphyry.  Sumber-sumber filsafat Yunani dipelajarinya berkat buku-buku yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Melalui kecerdasan yang dimiliki semakin menguatkan bahwa Ibnu Sina sangat menguasai konsep metafisika Aristoteles. Di samping itu, ia juga mendalami  filsafat al-Farabi. Hal ini dilakukan sebagai wujud dari ikhtiarnya untuk mencari kebenaran yang selama ini dicari. Sebab semua persoalan yang ditemui mendapat penjelasan dan jawaban yang sangat berarti. 
Berdasarkan sumber-sumber sejarah filsafat disebutkan bahwa Ibnu Sina mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, yang tidak lain adalah seorang Masehi. Hebatnya, diusianya yang masih belasan tahun kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang - orang sakit.[3]
Motivasinya yang kuat menjadi bekal utama dalam membaca buku - buku filsafat tanpa rasa bosan sedikitpun apalagi rasa lelah. Saking menikmatinya dalam membaca buku terkadang ia tertidur, maka di dalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya.[4] Tidak bosan-bosannya ia meminta petunjuk kepada Tuhan untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat.
Kemahirannya di bidang kedokteran dan filosof tidak membuatnya lupa mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati buku - buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair. Kebanyakan buku - bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang - orang Eropa diabad tengah, mulai mempergunakan buku - buku itu sebagai teks book, dipelbagai universitas. Oleh karena itu nama Ibnu Sina dalam abad pertengahan di Eropah sangat berpengaruh.[5]
Dalam sejarah pemikiran Islam karya-karya Ibnu Sina seringkali ditemui dengan menggunakan bahasa Arab dan Persia. Adapun karyanya yang terkenal adalah as-Shifa, an-Najat dan al-Isyarat. An-najat adalah ikhtisar dari kitab as-Shifa. Al-isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain itu, ia banyak menulis karangan - karangan pendek yang dikenal dengan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya.[6]
FILSAFAT IBNU SINA
Di kalangan sarjana-sarjana Barat Ibnu Sina lebih dikenal dengan nama Avicena (Spanyol aven Sina). Ketenarannya dalam bidang filsafat dan kedokteran di dunia Barat sulit dipisahkan dari perjalanan hidupnya. Sehingga para sarjana-sarjana Barat memberi gelar kepadanya dengan nama “the Prince of the Physicians”. Di dunia Islam ia akrab dengan nama al-Syaikh- al-Rais. Pemimpin utama (dari filosof - filosof).[7]
Untuk mengetahui pemikiran filsafat Ibnu Sina, ada satu sarana ketika ingin mendalaminya yaitu salah satunya dengan mempelajari konsep kejiwaan yang dimilikinya. Diketahui buku-buku yang mengupas soal kejiwaan terkait dengan Ibnu Sina bersumber dari pikiran-pikirannya yang tidak bisa lepas dari berbagai persoalan filsafat.
Menantang memang saat menelusuri teorinya tentang kejiwaan, mengingat Ibnu Sina sangat dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles, Galius atau Plotinus, khususnya Aristoteles yang banyak dijadikan sumber gagasannya. Ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai konsep sendiri atau pikiran - pikiran yang sebelumnya, baik dalam soal fisika maupun soal metafisika.
Teori fisikanya banyak menggunakan metode eksperimen dan banyak mengupas pembahasan di ranah kedokteran. Dalam lapangan metafisika terdapat kedalaman dan pembaharuan yang menyebabkan dia mendekati pendapat - pendapat filosof modern.[8] Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.[9]
Konsep penting yang diwariskan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Seperti al-Farabi, ia juga menganut paham pancaran. Maksudnya, dari Tuhan memancar akal pertama, kemudian akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya hingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Menurut Ibnu Sina akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Ringkasnya ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.[10]
Berangkat dari pemkirannya tentang Tuhan timbul akal-akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa- jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.
Berbicara kejiwaan pada hakikatnya bagi Ibnu Sina mengandung dua hal yaitu :
Pertama, domain fisika yang membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan - kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain - lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya. Kedua, domain metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.[11]
Selanjutnya Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian, pertama jiwa tumbuh -tumbuhan dengan daya-dayanya yaitu makan (nutrition), tumbuh                              (growth), berkembang biak (reproduction). Kedua, jiwa binatang dengan daya-dayanya yaitu Gerak (locomotion), menangkap (perception) dengan dua bagian tersendiri dinataranya menangkap dari luar dengan panca indera dan menangkap dari dalam dengan indera - indera dalam.
Bagi Ibnu Sina dikatakan bahwa sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh - tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.[12]
Terkait dengan soal wujud baginya sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, Kendati esensi sendiri  dalam pendapatnya terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Dengan demikian wujud lebih utama dari essensi. Sungguh menarik jika apa yang dikatakan Ibnu Sina bahwa esensi telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah dari filosof - filosof lain.
Jika diramu esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut, pertama,      esensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being). Kedua, esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
Ketiga, esensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Esensi dan wujud adalah sama dan satu. Jadi esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan esensi dalam kategori kedua, tetapi esensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.[13]
Demikian gambaran singkat tentang pemikiran filsafat dan kehidupan Ibnu Sina penuh dengan pergulatan dan petualangan yang filosofis. Seluruh hidupnya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis, hingga akhirnya sakit dan tak terobati. Ibnu Sina meninggal di Hamazan dalam usia  58 tahun dengan meinggalkan banyak karya yang sampai saat ini masih dijadikan rujukan untuk mendalami filsafat Islam. 
support write by :
ARLIVA herbal cream


[1] M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung, Mizan) 1994, hal. 101. Lihat juga Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, 1984, hal. 63
[2] Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,(Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia), 1996, hal. 50

[3] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1996, hal. 115, Hal lain diungkapakan Ahmad Fuad al-Ahwani dalam bukunya, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, hal. 65
[4] Ibid
[5] Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1975, hal. 112 - 113
[6] Ibid
[7] Harun Nasution, Islam di tinjau dari berbagai aspeknya, jilid II, (jakarta : UI), 1986, hal. 51
[8] Ahmad Hanafi, Pengantar …, hal. 125 - 126

[9] Ibid.
[10] Harun Nasution, Falsafat dan Msitisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1992, hal 34-35
[11] Ibid.
[12] Harun Nasution, Falsafat dan Msitisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1992, hal. 37 - 38

[13] Harun Nasution, Falsafat dan Msitisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1992, hal. 39-40

0 comments:

Posting Komentar