Sabtu, 14 Mei 2011

I.          PENDAHALUAN
The Growing of Thariqat  in the world begined since of three century and four century in Hijriyah, dan perkembangan dan kemajuanya terjadi pada abad ke-6 dan ke-7 Hijriyah. Adalah Syaih Abdul Qadir Jaelani yang pertama kali mendirikan Thrikat pada awal abad ke- 6 H, yang kemudian disusul oleh tariqat tariqat lainya. Semua Tariqat yang berkembang dala pereode ini merupakan kesinambungan Tasawwuf Sunni Al Ghazali. Dann dengan berdirinya berbagai Tariqat, tasawuf sunni mengalami tahap perkembangan baru sampai sekarang.[1]
Proses kegiatan Tariqat umumnya dimulai dengan pengambilan “sumpah” bai’at dari murid di hadapan syaikh setelah sang murid melakukan taubat dari segala maksiat. Setelah itu  murid menjalani Tariqat dengan maksimal hingga mencapai titik kesempurnaan dan mendapatkan ijazah lalu menjadi khalifah Syaikh atau mendirikan tariqat lain jika diizinkan. Oleh karena itu, dalam tareqat disepakati bahwa tariqat mempunyai tiga cirri umu:Syaikh, murid dan bai’at. Walaupun model pengangkatan  pemimpinya tidak semuanya sama.[2]
Pertumbuhan tariqat di Indonesia berjalan seiring dengan perkembanganya di Negara- Negara Islam. Setiap putra Indonesia yang belajar  dan kembali dari menuntut ilmu di makkah dapat dipastikan membawa ijazah  dari syaihnya untuk mengajarkan kembali taroqat tertentu di Indonesia. Fansuri misalnya, adalah syaih tariqat Qadariyah; Arraniri adalah syaih tariqat Rifa’iyah; Abd Al- Ra’uf Sinkel adalah Syaih tariqat Syatariyah; dan Al- Palimbani adalah tariqat Sammaniyah. Al Palimbani adalah syaih yang memperkenalkan tariqat tersebut di Indonesia.[3] 
Berbicara tentang tariqat di Indonesia yang banyak memperoleh simpati dan banyak pendukungnya adalah tarekat Khalwatiyah, Syatariyah, Qadariyah dan Alawiyah. Dimana kebnyakan Tarikat Khalwatiyah adalah penduduk daerah Sulawesi selatan, Syatariyah di Sumatra Selatan, Alawiyyiyah terebar di Indonesia melalui keturunan ‘Alawiyyin’ dan murid- muridnya, sedangkan Qadariyah yang banyak tersebar di berbagai wilayah Indonesia.
II.        PEMBAHASAN
1.       Sathariyah Tariqah
A.              Sejarah dan Tokoh Thariqat Asathariyah
Tarekat Syattariyah kali pertama muncul di India pada abad ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar. Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik. Hanya sedikit yang dapat diketahui mengenai Abdullah asy-Syattar. [4]
Abdullah asy-Syattar adalah keturunan Syihabuddin Suhrawardi. Kemungkinan besar ia dilahirkan di salah satu tempaat di sekitar Bukhara. Di sini pula ia ditahbiskan secara resmi menjadi anggota Tarekat Isyqiyah oleh gurunya, Muhammad Arif. Nisbah asy-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah dua, dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang dihayati di dalam dzikir nafi itsbat, la ilaha (nafi) dan illallah (itsbah), juga merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya yang kemudian membuatnya berhak mendapat pelimpahan hak dan wewenang sebagai Washitah (Mursyid).
Istilah Syattar sendiri, menurut Najmuddin Kubra, adalah tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah Akhyar dan Abrar. Ketiga istilah ini, dalam hierarki yang sama, kemudian juga dipakai di dalam Tarekat Syattariyah ini. Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu meniadakan zat, sifat, dan af'al diri (wujud jiwa raga). Namun karena popularitas Tarekat Isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan malah semakin memudar akibat perkembangan Tarekat Naksyabandiyah, Abdullah asy-Syattar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Di India ia memperoleh popularitas dan berhasil mengembangkan tarekatnya .Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).
Tradisi tarekat yang bernafas India ini dibawa ke Tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka, Sibghatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid Wajihuddin, dan mendirikan zawiyah di Madinah. Syekh ini tidak saja mengajarkan Tarekat Syattariah, tetapi juga sejumlah tarekat lainnya, sebutlah misalnya Tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian Tarekat ini disebarluaskan dan dipopulerkan ke dunia berbahasa Arab lainnya oleh murid utamanya, Ahmad Syimnawi (w.1619). Begitu juga oleh salah seorang khalifahnya, yang kemudian tampil memegang pucuk pimpinan tarekat tersebut, seorang guru asal Palestina, Ahmad al-Qusyasyi (w.1661). Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal, Ibrahim al Kurani (w. 1689), asal Turki, tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan penganjur Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal di wilayah Madinah. Dua orang yang disebut terakhir di atas, Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, adalah guru dari Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia.
Sebelum Abdul Rauf. Telah ada seorang tokoh sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran Syattariyah yang berkembang di Nusantara lewat bukunya Tuhfat al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabi, sebuah karya yang relatif pendek tentang wahdat al-wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullah al-Bunhanpuri (w. 1620), juga salah seorang murid Wajihuddin. Bukunya, Tuhfat al-Mursalat, yang menguraikan metafisika martabat tujuh ini lebih populer di Nusantara ketimbang karya Ibnu Arabi sendiri. Martin van Bruinessen menduga bahwa kemungkinan karena berbagai gagasan menarik dari kitab ini yang menyatu dengan Tarekat Syattariyah, sehingga kemudian murid-murid asal Indonesia yang berguru kepada al-Qusyasyi dan Al-Kurani lebih menyukai tarekat ini ketimbang tarekat-tarekat lainnya yang diajarkan oleh kedua guru tersebut. Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya.
Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699). Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini kita temukan di Jawa dan Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat ini, lanjut Martin, relatif dapat dengan gampang berpadu dengan berbagai tradisi setempat; ia menjadi tarekat yang paling "mempribumi" di antara berbagai tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyah-lah berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.[5]
B.      Ajaran Traiqat Asahatariyah
Hubungan antara Tuhan dengan alam menurut pandangan Syattariyah dijelaskan sebagai berikut: pada mulanya alam ini diciptakan olch Allah dari Nur Muhammad. Sebelum segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah, ia berada di dalam ilmu Allah yang diberi nama A'yan Tsabitah (hal. 4). la merupakan bayang-bayang bagi Dzat Allah (hal. 5). Sesudah A’yan Tsabitah ini menjelma pada A’yan Khrijiyah (kenyataan Tuhan yang berada di luar), maka A’yan Kharijiyyah itu merupakan bayang-bayang bagi Yang Memiliki bayang-bayang; dan ia tiada lain daripada-Nya.[6]
Perkembangan tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana'. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana'ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.[7]
Sebagaimana halnya tarekat-tarekat lain, Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir di dalam ajarannya. Tiga kelompok yang disebut di atas, masing-masing memiliki metode berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca al-Qur'an, melaksanakan haji, dan berjihad. Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketisme atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati. Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan bimbingan langsung dari arwah para wali. Menurut para tokohnya, dzikir kaum Syattar inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT. Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:
   1. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil  menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu  mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang  letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
   2. Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang  itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
   3. Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
   4. Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang  dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
   5. Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
   6. Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.
   7. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ketengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)". Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut: Nafsu Ammarah, Nafsu Lawwamah, Nafsu Mulhimah, Nafsu Muthmainnah, Nafsu Radhiyah, Nafsu Mardliyah,dan Nafsu Kamilah.
C.      Sanad atau Silsilah Tarekat Syattariyah
Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid
atau wasithahnya di Indonesia: Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada Imam Zainal Abidin, kepada Imam Muhammad Baqir, kepada Imam Ja'far Syidiq, kepada Abu Yazid al-Busthami, kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada Syekh Muhammad Asyiq, kepada Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada Syekh Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada Syekh Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida' (Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada Kiai Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada Kiai Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada Kiai Ageng Aliman (Pacitan), kepada Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada Kiai Muhammad Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada KH. Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).
2.       Khalwatiyah Tariqah
A.   Sejarah dan Tokoh Tariqat Khalwatiyah
Umumnya, nama sebuah tarekat diambil dari nama sang pendiri tarekat bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband. Tapi Tarekat Khalwatiyah justru diambil  dari kata “khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati (w. 717 H), pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepiSecara “nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H).
Tarekat Khalwatiyah dibawa ke Mesir oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syria. Ia mengambil tarekat tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan tarekat ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka).[8]
Sekitar abad 11 H dan 17 H Thariqat khalwatiah menjadi bagian penting dalam politik Ottoman. Puncak perkembanganya pada masa Sulaiman dan Sultan Selim I. Setelah itu berlanjut dan berkembang kekerajaan Ottaman pada abd yang sama. Menjadi lebih kuat lagi Ketika di Albania sampai tahun  1967 melakukan revolusicultural kemudian merambah k eke Yugoslavia. Perkembangan selanjutnya di Mesir, Syiria, Libanon dan Palestina. Di Turki sendiri Thariqat Khalwatiyah dan tariqat yang lainya di habisi sekitar tahun 1925, namun eksistensinya tejaga dan survive, khususnya Khalwatiyah- Jarriyah yang dengan aktif melanjutkan sampai pusat Istambul.[9]
Thariqat Khalwatiyah di Indonesia di perkenalkan oleh Syeikh Yusuf Taj al-Khalwati al-Mankatsi. Dia disebut juga 'Mahkota Khalwatiyya'. Adalah orang pertama yang memperkenalkan silsilah Khalwatiyah ke Indonesia, dan di Sulawesi itu tetap berkaitan erat dengan namanya. Ini Khalwatiyya itu tidak berarti urutan hanya di mana Yusuf dimulai, namun. Ia menghabiskan beberapa waktu di Arab dan belajar dengan berbagai guru. Dalam risalahnya Safinat an-Najah, ia menyebutkan berbagai salik bahwa dia belajar, dengan nama preceptors rohani dan para pendahulu mereka. inisiasi Nya di Khalwatiyya terjadi di Damaskus, di mana ia mungkin telah pergi untuk tujuan membayar menghormati di kuil mistik besar Muhyiddin Ibnu al-Arabi. Yusuf menceritakan bahwa Gurunya yang menginisiasinya, Abu Barakat Ayyub b. Ahmad al-Khalwati al-Quraisy, adalah pemimpin doa dan pendeta (imam dan Khatib) di masjid Ibn al-`Arabi. Dia juga memberikan Silsila nya untuk pesanan ini, yang berjalan melalui pendiri terkenal, Dede `Umar al-Khalwati (d. ca. 1497), sampai dengan Junaid Baghdad terkenal abad kesembilan-mistik,
B.      Ajaran Dzikir Thariqat Khalwatiyah
Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Al-Asma’ As-Sab’ah (tujuh nama). Yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa yang harus dibaca oleh setiap salik.
Dzikir pertama adalah La ilaaha illallah (pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah). Dzikir pada tingkatan jiwa pertama ini disebut an-Naf al-Ammarah (nafsu yang menuruh pada keburukan, amarah). Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang paling terkotor dan selalu menyuruh pemiliknya untuk melakukan perbuatan dosa dan maksiat atau buruk, seperti mencuri, bezina, membunuh, dan lain-lain.
Kedua, Allah (Allah). Pada tingkatan jiwa kedua ini disebut an-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang menegur). Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang sudah bersih dan selalu menyuruh kebaikan-kebaikan pada pemiliknya dan menegurnya jika ada keinginan untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk.
Ketiga, Huwa (Dia). Dzikir pada tingkatan ketiga ini disebut an-Nafs al-Mulhamah (jiwa yang terilhami). Jiwa ini dianggap yang terbersih dan telah diilhami oleh Allah SWT, sehingga bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Keempat, Haq (Maha Benar). Tingkatan jiwa ini disebut an-Nafs al-Muthmainnah (jiwa yang tenang). Jiwa ini selain bersih juga dianggap tenang dalam menghadapi segala problema hidup maupun guncangan jiwa lainnya.
Kelima, Hay (Maha Hidup). Disebut juga dzikir an-Nafs ar-Radliyah (jiwa yang ridla). Jiwa ini semakin bersih, tenang dan ridla (rela) terhadap apa yang menimpa pemiliknya, karena semua berasal dari pemberian Allah.
Keenam, Qayyum (Maha Jaga). Tingkatan jiwa ini disebut juga an-Nafs Mardliyah (jiwa yang diridlai). Selain jiwa ini semakin bersih, tenang, ridla terhadap semua pemberian Allah juga mendapatkan keridlaan-Nya.
Ketujuh, Qahhar (Maha Perkasa). Jiwa ini disebut juga an-Nafs al-Kamilah (jiwa yang sempurna). Dan inilah jiwa terakhir atau puncak jiwa yang paling sempurna dan akan terus mengalami kesempurnaan selama hidup dari pemiliknya.
Ketujuh tingkatan (dzikir) jiwa ini intinya didasarkan kepada ayat al-Qur’an. Tingkatan pertama didasarkan pada surat Yusuf ayat 53: “Sesunguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada keburukan”.
Tingkatan kedua dari surat al-Qiyamah ayat 2: “Dan Aku tidak bersumpah dengan jiwa yang menegur”.
Tingkatan ketiga dari surat as-Syams ayat 7 dan 8: “Demi jiwa dan Yang menyempurnakannya. Allah mengilhami jiwa tersebut kejahatan dan ketakwaannya”. Tingkatan keempat dari surat al-Fajr ayat 27: “Wahai jiwa yang tenang”.
Tingkatan kelima dan keenam dari surat al-Fajr ayat 28: “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keridlaan dan diridlai”.
Sementara untuk tingkatan ketujuh yang sudah sempurna, atau yang berada di atas semua jiwa, secara eksplisit tidak ada dalam al-Qur’an, karena al-Qur’an seluruhnya merupakan kesempurnaan dari semua dzikir dan jiwa pemiliknya. Wallahu a’lam.
3.    Tariqat Sammaniyah
A.      Sejarah dan Tokoh Tarikat ammaiyah
       Thariqat ini didirikan oleh Muhammad bin Abd al Karim al Madan al Syafi i al Samman (1130-1189/1718-1775). Ia lahir di Madinah dari keluarga Quraisy. Di kalangan murid dan pengikutnya, ia lebih dikenal dengan nama al Sammani atau Muhammad (Syaikh Samman). Sambil mengajar di Sanjariyah, tampaknya Syaikh Samman banyak menghabiskan hidupnya di Madinah dan tinggal di rumah bersejarah milik Abu Bakar al Shiddiq.
Syaikh Samman sebenarnya tidak hanya menguasai bidang thariqat saja tetapi bidang-bidang ilmu islam lainnya. Ia belajar hukum Islam kelima ulama fiqih terkenal Muhammad al Waqqaq, Sayyid Ali al Athar, Ali al Kurdi, Abdul Wahhab, Al Thantawi (di Makkah) dan Said Hillal Al Makki. Ia juga pernah berguru ke Muhammad Hayyat, seorang muhaddis dengan reputasi lumayan di Haramayn dan dinisiasi sebagai penganut thariqat Naqsabandiyah. Selain Samman, yang berguru ke Muhammad Hayyat adalah juga Muhammad bin Abd al Wahhab, seorang penentang bid’ah dan praktik-praktik syirik serta pendiri Wahhabiyah.
Syaikh Samman juga mempelajari berbagai thariqat seperti thariqat naqsabandiyah, thariqat qodiriyah, thariqat khalwatiyah dan thariqat syadziliyah. Dalam perjalanan belajarnya itu, ternyata thariqat naqsabandiyah juga banyak memengaruhinya. Ini terutama dipengaruhi oleh ‘Abd al-Ghani al-Nabulusi, tokoh besar thariqat naqsabandiyah yang juga menjadi salah satu guru Musthafa al-Bakri. Al-Nabulusi juga terkenal selain sebagai pengarang produktif adalah pembela Ibn al-‘Arabi dan ‘Abd al-Karim al-Jilli. Dari ajaran berbagai thariqat itu, Samman lalu meraciknya dengan memadukan teknik – teknik dzikir, bacaan – bacaan lain, dan ajaran mistis semua thariqat tersebut dengan beberapa tambahan, seperti qashidah dan bacaan lain yang ia susun sendiri. Racikan berbagai thariqat ini lalu menjadi satu nama, thariqat samaniyah.
                   Istilah Sammâniyyah diambil dari nama pendirinya,  Syekh Muhammad ‘Abd al-Kârim al-Sammân. Syekh yang dilahirkan di Madinah pada tahun 1719 ini menggabungkan metode-metode dan bacaan- bacaan berbagai tarekat, seperti Khalwâtiyyah, Qâdiriyyah, Naqsabandiyyah, ‘Adiliyyah, dan Syâdziliyyah, dalam paduan yang khas dan berdiri sendiri. Oleh karena itulah, walaupun tarekat ini secara formal merupakan salah satu cabang dari tarekat Khalwâtiyyah, namun ia telah menjadi sebuah tarekat tersendiri. Perpaduan ini kemudian dikenal dengan nama tarekat Sammâniyyah, yang banyak disinyalir oleh para ahli sebagai tarekat pertama yang memperoleh banyak pengikut di Asia Tenggara
                   Sammâniyyah, sebagai tarekat, mulai tersebar di Indonesia pada penghujung abad ke-18 M. Adapun keberadaan tarekat ini di Kalimantan Selatan tidak bisa dilepaskan dari keberadaan dua ulama besar generasi pertama masyarakat Banjar, yaitu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjârî dan Syekh Muhammad Nafîs al-Banjârî. Ada dua versi pendapat tentang siapa pembawa tarekat yang tengah marak di masyarakat Banjar saat ini. Versi pertama menyebutkan Syekh Arsyad-lah yang paling bertanggung jawab atas tersebarnya tarekat ini di Kalimantan Selatan melalui karyanya Kanz al-Ma’rifah dan Qasidah pujian Syekh Sammân. Sementara versi kedua menyebutkan Syekh Nafîs-lah sebagai pembawa tarekat ini atas dasar pengidentifikasian diri kepada tarekat ini dalam karyanya ad-Durr an-Nafîs.
B.      Ajaran dan Dzikir Tariqat Samaniyah
Adapun Ajaran tarikat Sammaiyah ini antara lain:
1.       Tawasul, maksudnya memohon berkah kepada pihak – pihak tertentu yang dijadikanwasilah (perantara) dalam tasawuf itu, agar yang dimaksud bisa tercapai. Objek tawasul adalah Nabi Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya, asma – asma Allah, para aulia, para ulama fikih, para ahli thariqat, kedua orang tua dll.
2.       Wahdat al-Wujud, maksudnya adalah tahapan dimana ia menyatu dengan hakikat alam ini, yaitu haqiqat Muhammad atau Nur Muhammad.
3.       Nur Muhammad, adalah salah satu rahasia dari seluruh rahasia Allah. Nur Muhammad adalah yang pertama kali terwujud sebelum yang lainnya berwujud, sedangkan wujudnya adalah hakikat atau esensi wujud alam ini.
4.       Insan kamil, dari segi syariat wujud insan kamil adalah nabi Muhammad, sedangkan dari segi hakikat adalah nur Muhammad. Hubungan keduanya dapat digambarkan seperti ini : nabi Muhammad merupakan koridor yang menuju kepada insan kamil, yaitu hakikat tempat “bayangan” Tuhan. Orang islam yang berminat menuju tuhan sampai bertemu dengannya harus melewati koridor ini, yaitu mengikuti jejak nabi Muhammad.

III.     PENUTUP
Demikian makalah ini kami sampaikan, meski terdapat kekurangan sedikit banyaknya dapat memberikan informasi kepada kawan-kawan tentang sufi order 2.  


[1] Syihab Alwie, DR, Phd, 2009, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf Di Indonesia, Pustaka Iman, hlm 184
[2] Trimingham Spencer J, I997,The Sufi Order in Islam, Oxford Univercity Press(3) ,hlm 174
[3] Op.Cit
[4] Sejarah…..
[5] Sejarah Asytariyah,www.duniasufi.com/sejarahasytariah
[6] lstadiyantha, 1988. “Pengantar Pengkajian Sastra Sufi”. (Makalah). Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia X Se-Jawa Tengah den DIY. Sukoharjo - Surakarta: IKIP Veteran. hlm. 5
[7] Sejarah…www
[8] Wikipedia Indonesia/www.wikipedia.com/tarikat khalwatiyah,diunduh tanggal ..
[9] Hossein Nasr Sayd, Islamic Spiritually Manifestation, The crossroad Publishing Company, 1990, hlm 233
Read More